
NEWMEDAN.COM — Ketidakadilan hukum kembali menjadi sorotan setelah sejumlah warga Jalan Bunga Rinte 20, Lingkungan 11, Kelurahan Simpang Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, mengaku menjadi korban praktik premanisme yang diduga kuat berkaitan dengan mafia tanah. Bukannya mendapatkan perlindungan hukum, para warga yang melaporkan justru dijadikan tersangka, bahkan sebagian di antaranya telah ditahan.
Peristiwa ini pertama kali mencuat melalui laporan jaringan relawan Sahabat MD, yang selama ini aktif mengadvokasi kasus-kasus ketimpangan sosial dan pelanggaran hak warga. Menurut laporan mereka, insiden tersebut terjadi lebih dari satu bulan yang lalu, namun hingga kini belum ada penyelesaian hukum yang jelas.
Ironisnya, sembilan warga yang berniat mencari keadilan dengan melaporkan intimidasi dan kekerasan yang mereka alami ke pihak kepolisian, justru mendapat perlakuan sebaliknya. Mereka dilaporkan balik, ditetapkan sebagai tersangka, dan bahkan ada yang kini tengah menjalani proses penahanan.
Kasus ini menambah panjang daftar keluhan masyarakat atas dugaan kolusi antara oknum aparat dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam sengketa tanah. Warga menduga, tindakan premanisme yang mereka alami tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk menguasai lahan milik mereka.
Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya mengaku bahwa mereka telah menerima berbagai bentuk intimidasi fisik dan verbal dari kelompok tak dikenal yang mendatangi kawasan permukiman mereka. “Kami disuruh angkat kaki dari tanah kami sendiri. Padahal kami memiliki surat-surat lengkap,” ujarnya.
Situasi makin memburuk ketika warga memutuskan untuk menempuh jalur hukum. Mereka melapor ke kantor polisi terdekat dengan membawa bukti-bukti pendukung, namun laporan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan serius. Justru, beberapa hari kemudian, mereka menerima surat panggilan sebagai tersangka.
“Ini seperti mimpi buruk. Kami yang dianiaya, kami yang kehilangan ketenangan, tapi kami juga yang dipenjara. Di mana letak keadilan?” ungkap seorang kerabat dari warga yang kini mendekam di balik jeruji besi.
Sahabat MD menyatakan keprihatinan atas kondisi ini dan menyerukan kepada pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus ini secara adil dan transparan. Mereka juga mendesak lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan Komisi III DPR RI untuk turun tangan.
“Masyarakat sipil tidak boleh dikalahkan oleh intimidasi. Kami menduga ini bagian dari praktik mafia tanah yang sudah lama bercokol di berbagai daerah, termasuk Medan,” ujar perwakilan Sahabat MD dalam konferensi persnya.
Lebih lanjut, mereka menyebut bahwa ada indikasi bahwa hukum sedang digunakan sebagai alat untuk membungkam korban, bukan untuk menindak pelaku. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kasus ini juga mendapat perhatian dari sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat. Mereka menilai bahwa peristiwa ini mencerminkan lemahnya perlindungan hukum terhadap warga kecil yang sedang memperjuangkan haknya atas tanah dan tempat tinggal.
Dalam waktu dekat, rencananya akan dilakukan aksi solidaritas dan pengumpulan dukungan publik untuk membebaskan para warga yang ditahan serta menuntut proses hukum yang berpihak kepada kebenaran.
Warga Jalan Bunga Rinte 20 berharap agar keadilan benar-benar ditegakkan. Mereka menyatakan tidak akan menyerah dalam memperjuangkan hak atas tanah yang telah mereka tempati dan kelola selama puluhan tahun.
“Kami bukan penjahat. Kami hanya warga biasa yang mempertahankan rumah dan tanah kami. Jika hukum tidak bisa melindungi rakyat kecil, maka siapa lagi yang bisa kami harapkan?” tutup salah satu warga dengan nada haru.
Kasus ini menjadi peringatan serius bahwa persoalan mafia tanah dan premanisme di Indonesia masih menjadi ancaman nyata. Perlu langkah tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku sebenarnya dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.