
DUNIAMEDAN.COM – Seorang pasien bernama R br Ketaren meninggal dunia saat menjalani prosedur cuci darah (hemodialisis) di RSUD Djoelham Binjai. Insiden tragis ini mengejutkan banyak pihak, terutama setelah Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara menemukan adanya dugaan kuat maladministrasi yang dilakukan pihak rumah sakit.
Menurut laporan hasil investigasi awal, kematian R br Ketaren diduga kuat terjadi akibat kelalaian dalam memastikan keamanan dan kelayakan suplai air yang digunakan untuk mesin cuci darah. Air yang seharusnya steril dan terkontrol justru tidak diperiksa terlebih dahulu, sehingga berisiko tinggi menimbulkan reaksi fatal pada pasien.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar, dalam konferensi pers menyebutkan bahwa timnya telah meninjau langsung lokasi dan prosedur yang dijalankan saat kejadian. Ia menegaskan bahwa ditemukan pelanggaran serius terhadap protokol medis yang seharusnya menjadi standar operasional rumah sakit.
“Salah satu temuan paling mencolok adalah tidak adanya pemeriksaan kualitas air sebelum digunakan untuk hemodialisis. Ini merupakan pelanggaran yang sangat fatal, karena air adalah komponen utama dalam proses cuci darah dan sangat berisiko jika tidak steril,” ujar Abyadi.
Selain itu, hasil investigasi juga menemukan bahwa manajemen rumah sakit tidak memiliki sistem mitigasi risiko atau prosedur darurat yang memadai ketika terjadi gangguan dalam proses medis. Ini memperparah kondisi pasien yang saat itu mengalami reaksi buruk akibat air yang tidak layak digunakan.
R br Ketaren, yang semula datang dengan kondisi stabil untuk menjalani prosedur rutin, mulai menunjukkan gejala penurunan kesadaran beberapa menit setelah proses dimulai. Tim medis berupaya memberikan pertolongan, namun sayangnya nyawa pasien tidak tertolong.
Kejadian ini memicu kemarahan keluarga korban yang menilai rumah sakit telah lalai dalam memberikan pelayanan kesehatan. Mereka menuntut pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit dan berharap agar kejadian serupa tidak terulang.
Ombudsman juga menyoroti lemahnya pengawasan internal rumah sakit serta minimnya pelatihan tenaga medis dalam menangani prosedur cuci darah. Menurut Abyadi, seharusnya ada pemeriksaan harian terhadap instalasi air bersih dan mesin hemodialisis yang digunakan, termasuk dokumentasi lengkap sebagai bagian dari kontrol mutu.
Dalam rekomendasinya, Ombudsman meminta agar Direktur RSUD Djoelham Binjai segera mengevaluasi seluruh tim medis dan teknis yang terlibat dalam prosedur tersebut. Selain itu, pihak rumah sakit diminta untuk menyusun ulang protokol penanganan cuci darah serta meningkatkan pelatihan dan pengawasan terhadap para petugas medis.
Pemerintah Kota Binjai sebagai otoritas yang menaungi RSUD Djoelham juga didesak untuk turun tangan secara langsung dalam penyelesaian kasus ini. Wali Kota Binjai diharapkan memberikan sanksi tegas apabila terbukti adanya kelalaian manajemen yang menyebabkan kematian pasien.
Kementerian Kesehatan RI pun diminta untuk meninjau kembali akreditasi RSUD Djoelham serta melakukan audit terhadap seluruh rumah sakit yang menyediakan layanan hemodialisis di Sumatera Utara. Hal ini dianggap penting demi menjamin keselamatan pasien dan menghindari terulangnya tragedi serupa.
Sementara itu, pihak rumah sakit hingga saat ini belum memberikan keterangan resmi yang memuaskan. Beberapa perwakilan manajemen hanya menyebut bahwa “kejadian masih dalam penyelidikan internal”, namun belum ada langkah nyata yang disampaikan kepada publik.
Para pemerhati kesehatan publik mengingatkan bahwa prosedur medis seperti cuci darah harus dilaksanakan dengan standar tertinggi, mengingat sensitivitas kondisi pasien yang sangat bergantung pada keamanan alat dan bahan yang digunakan.
Kematian R br Ketaren di tengah prosedur yang seharusnya rutin menyoroti pentingnya reformasi manajemen dan pengawasan mutu layanan kesehatan di rumah sakit milik pemerintah. Tragedi ini menjadi peringatan keras akan bahaya kelalaian dalam sistem layanan medis.
Masyarakat kini berharap agar insiden ini menjadi titik balik bagi peningkatan mutu dan akuntabilitas layanan kesehatan, serta memastikan bahwa nyawa pasien tidak kembali terenggut akibat kelalaian dan kelonggaran standar keselamatan prosedural.