ICW Soroti Kelemahan Sistem Digital dalam Pencegahan Korupsi Proyek Infrastruktur

DUNIAMEDAN.COM – Kasus dugaan korupsi dalam pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Sumatera Utara kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap transparansi proyek pemerintah. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa penggunaan sistem katalog elektronik atau e-katalog yang selama ini digadang-gadang sebagai solusi antikorupsi, ternyata belum mampu menutup celah praktik korupsi di sektor pengadaan publik.

Peneliti ICW, Wana Alamsyah, menyampaikan bahwa alih-alih menjadi alat pencegah, sistem digital kerap dimanipulasi untuk memberikan legalitas semu terhadap praktik kongkalikong dalam proses pengadaan. Hal ini terjadi ketika penyedia barang dan jasa sudah lebih dulu bersekongkol dengan oknum penyelenggara proyek, sehingga proses digitalisasi justru menjadi sarana “cuci tangan” atas tindakan ilegal tersebut.

“Sudah terlalu banyak kasus korupsi yang melibatkan sistem elektronik. Ini membuktikan bahwa digitalisasi tidak akan efektif tanpa keterbukaan dan akuntabilitas,” ujar Wana dalam siaran pers yang dirilis pada Jumat, 4 Juli 2025. Ia juga menegaskan bahwa keterbukaan informasi kontrak menjadi bagian penting dalam pengawasan publik, sesuai Pasal 15 ayat (9) Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021.

ICW mencatat bahwa dari tahun 2019 hingga 2023, telah terjadi 1.189 kasus korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.896 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Kerugian keuangan negara pun tidak main-main, diperkirakan mencapai Rp 47,18 triliun. Angka ini menggambarkan betapa besarnya kebocoran anggaran negara akibat lemahnya pengawasan dan integritas dalam sistem pengadaan.

Kasus korupsi di Sumatera Utara menjadi salah satu contoh terbaru dari lemahnya sistem pengendalian internal. Meskipun menggunakan sistem elektronik, praktik manipulasi tetap dapat terjadi melalui pemalsuan dokumen, pelelangan fiktif, hingga pengaturan spesifikasi teknis yang sengaja menguntungkan pihak tertentu.

Wana menilai bahwa permasalahan utama bukan terletak pada sistem digital, melainkan pada mentalitas pelaksana dan lemahnya pengawasan yang memungkinkan korupsi tetap berlangsung. Ia menyebut bahwa integritas sumber daya manusia dalam birokrasi menjadi kunci utama dalam mencegah penyimpangan anggaran.

Dalam konteks proyek pembangunan jalan, kolusi antara penyedia jasa konstruksi dan pejabat dinas teknis sering kali terjadi dalam bentuk mark-up anggaran, pengurangan kualitas material, hingga pembayaran proyek fiktif. Semua ini dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam sistem digital yang tidak dilengkapi dengan pengawasan lapangan yang memadai.

ICW juga mendesak agar pemerintah membuka akses publik terhadap seluruh dokumen kontrak pengadaan yang telah dilaksanakan. Menurut mereka, transparansi ini akan memungkinkan masyarakat untuk ikut serta dalam mengawasi proses penggunaan anggaran negara, serta memperkuat posisi lembaga-lembaga pengawas seperti BPK, KPK, dan Kejaksaan.

Selain itu, ICW menyarankan agar reformasi sistem pengadaan tidak hanya berfokus pada digitalisasi, tetapi juga pada penguatan regulasi, peningkatan kapasitas auditor internal, serta pemberdayaan masyarakat sipil dalam proses pengawasan. Tanpa langkah ini, sistem pengadaan tetap akan rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi.

ICW pun meminta agar aparat penegak hukum tidak hanya berhenti pada penindakan terhadap pelaku lapangan, tetapi juga menyasar aktor intelektual dan penyokong finansial di balik setiap skandal korupsi. Menurut mereka, pola korupsi selalu melibatkan jaringan yang terstruktur dan sistematis, sehingga penanganan hukum harus menyentuh semua pihak yang terlibat.

Dalam kasus Sumatera Utara, dugaan korupsi yang melibatkan proyek jalan dan pemeliharaan infrastruktur bukan hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat yang tidak mendapat manfaat dari proyek tersebut. Jalan yang rusak, kualitas pembangunan yang buruk, hingga proyek mangkrak menjadi dampak nyata dari korupsi yang tidak terdeteksi sejak awal.

ICW menilai bahwa saat ini adalah momen yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali efektivitas sistem e-katalog dan LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Digitalisasi harus diiringi dengan sistem integritas yang kuat, tidak hanya bergantung pada perangkat lunak, melainkan juga etika dan komitmen pejabat publik.

Selain itu, pelatihan dan sertifikasi bagi pengelola pengadaan harus diperketat, agar proses pengadaan tidak dilakukan secara sembarangan oleh pihak-pihak yang tidak memahami aturan atau yang rentan disusupi kepentingan pribadi. Pemerintah pusat juga diimbau untuk lebih aktif mengawasi pengadaan di daerah-daerah yang rawan korupsi.

Dalam jangka panjang, ICW menekankan pentingnya pembangunan sistem pengadaan yang bukan hanya transparan, tetapi juga partisipatif. Artinya, publik harus diberikan ruang untuk ikut serta dalam menilai, mengawasi, dan bahkan menggugat proyek-proyek yang dinilai bermasalah. Tanpa partisipasi masyarakat, sistem digital akan tetap menjadi benteng semu bagi praktik korupsi.

Dengan semakin banyaknya temuan korupsi di sektor pengadaan, ICW mengingatkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak bisa terwujud jika integritas birokrasi dan transparansi anggaran masih menjadi persoalan. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata dalam memberantas korupsi, bukan hanya dengan teknologi, tapi juga dengan membangun budaya anti-korupsi dari pusat hingga daerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *