Warga Tanjung Mulia Terancam Terusir: Konflik Agraria Kembali Mewarnai Kota Medan

DUNIAMEDAN.COM –Konflik agraria kembali mencuat di Kota Medan dan menambah deretan panjang persoalan pertanahan yang belum kunjung usai di Indonesia. Kali ini, giliran warga Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli, yang menjadi korban. Lahan seluas 17 hektar yang selama puluhan tahun mereka huni dan kelola kini dieksekusi secara paksa oleh aparat, dengan dalih kepemilikan sah pihak lain.

Eksekusi yang berlangsung tepat di depan pintu Tol Krakatau itu mengundang keprihatinan luas dari masyarakat dan aktivis hak asasi manusia. Ratusan kepala keluarga yang menempati kawasan tersebut harus menyaksikan rumah dan harta benda mereka dihancurkan alat berat dalam waktu singkat. Jerit tangis warga terdengar sepanjang proses eksekusi yang berlangsung sejak pagi hingga sore hari.

Warga menyatakan bahwa mereka telah tinggal di lokasi tersebut selama lebih dari 30 tahun. Banyak dari mereka yang memiliki surat keterangan domisili, membayar pajak, dan bahkan mencatatkan tanah tersebut dalam administrasi kependudukan. Mereka mengaku tidak pernah menerima surat peringatan atau proses mediasi sebelum eksekusi dilakukan.

Menurut keterangan salah satu warga, Ibu Sulastri, ia tidak pernah menyangka akan kehilangan rumah yang telah dibangun sejak awal tahun 1990-an. “Kami bukan pendatang liar, kami membangun sendiri rumah ini dengan keringat dan tabungan bertahun-tahun. Sekarang semua hilang dalam hitungan jam,” ujarnya pilu.

Eksekusi ini dilakukan atas dasar keputusan pengadilan yang memenangkan pihak penggugat, yaitu sebuah perusahaan pengembang properti yang mengklaim sebagai pemilik sah lahan tersebut. Namun warga mempertanyakan dasar klaim itu, karena tidak pernah ada sosialisasi atau pembicaraan sebelumnya dengan mereka selaku penghuni aktif di lapangan.

Peristiwa ini kembali mengungkap betapa rentannya masyarakat kecil terhadap konflik agraria yang melibatkan korporasi dan kekuasaan. Lahan yang seharusnya menjadi tempat tinggal yang aman dan layak, kini berubah menjadi puing-puing tak berbekas. Anak-anak yang seharusnya pergi sekolah terpaksa mengungsi bersama keluarganya ke tempat penampungan sementara.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan aktivis hak atas tanah turut mengecam tindakan eksekusi paksa ini. Mereka menilai pemerintah daerah gagal menjalankan fungsi perlindungan terhadap warganya dan terlalu cepat tunduk pada kepentingan korporasi. Kritik juga diarahkan pada minimnya transparansi dalam proses hukum yang melatari klaim kepemilikan lahan.

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumatera Utara, Haris Ginting, menyebutkan bahwa kasus di Tanjung Mulia hanyalah salah satu dari ratusan kasus agraria di Sumatera Utara yang belum diselesaikan secara adil. “Pemerintah harus turun tangan, bukan hanya menyaksikan warga diusir dari tanah yang telah mereka rawat puluhan tahun,” tegasnya.

Di tengah kekacauan yang terjadi, Pemerintah Kota Medan belum memberikan penjelasan resmi yang memadai. Wali Kota Medan hanya menyebutkan bahwa pihaknya menghormati proses hukum, namun tidak menjelaskan langkah-langkah perlindungan terhadap warga terdampak yang kini hidup tanpa tempat tinggal.

Pakar hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Taufik Lubis, menilai bahwa kasus ini mencerminkan lemahnya sistem redistribusi tanah di Indonesia. Menurutnya, selama tidak ada reforma agraria yang jelas dan berpihak pada rakyat kecil, konflik semacam ini akan terus berulang.

Proses mediasi yang seharusnya menjadi langkah awal penyelesaian konflik juga tampaknya diabaikan. Banyak warga mengaku tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan bukti kepemilikan atau mendengar secara langsung dasar gugatan dari pihak pengembang. Ini membuat banyak pihak mempertanyakan keadilan proses hukum yang berlangsung.

Warga kini terpaksa tinggal di tenda-tenda darurat dan bangunan seadanya di sekitar lokasi penggusuran. Bantuan kemanusiaan dari LSM dan komunitas relawan mulai berdatangan, namun kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, dan layanan kesehatan masih sangat minim.

Konflik ini telah menarik perhatian luas, bahkan hingga ke media nasional. Banyak pihak berharap agar pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Sosial, segera turun tangan untuk menangani dampak kemanusiaan dari kasus ini.

Dengan berulangnya kasus seperti ini, sudah saatnya negara hadir secara nyata di tengah rakyat. Konflik agraria tidak boleh lagi menjadi ladang sengketa yang terus merugikan masyarakat kecil. Perlindungan terhadap hak atas tanah, tempat tinggal yang layak, dan keadilan sosial harus menjadi prioritas dalam pembangunan bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *