
DUNIAMEDAN.COM – Direktur Utama PT Mitra Visioner Pratama (MVP), Hendrick Raharjo, akhirnya resmi duduk di kursi pesakitan dalam persidangan kasus dugaan korupsi proyek layanan internet di Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) Tahun Anggaran 2020. Sidang perdana berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan pada Senin, 28 Juli 2025.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Budi Setiawan Putra Sitorus dalam dakwaannya menyebutkan bahwa Hendrick diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dengan dua pejabat pemerintah daerah, yaitu Kepala Dinas Kominfo Taput, Ir. Polmudi Sagala, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Hanson Einstein Siregar.
Proyek layanan internet yang menjadi objek perkara ini merupakan program strategis pemerintah daerah untuk meningkatkan konektivitas digital di wilayah Tapanuli Utara. Proyek tersebut melibatkan anggaran besar yang bersumber dari dana APBD 2020, dengan nilai kontrak mencapai miliaran rupiah.
Namun, menurut JPU, dalam pelaksanaannya terjadi berbagai penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Hendrick, yang perusahaannya memenangkan tender proyek tersebut, diduga telah merekayasa dokumen dan pengadaan barang dan jasa agar proyek tetap berjalan meskipun tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dan ketentuan perundang-undangan.
“Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan dua terdakwa lainnya mengakibatkan kerugian keuangan negara sebagaimana hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang nilainya mencapai lebih dari Rp3 miliar,” ujar JPU Budi Setiawan di hadapan majelis hakim.
Selain merugikan keuangan negara, JPU juga menyoroti dugaan adanya aliran dana dari perusahaan terdakwa kepada beberapa pihak, termasuk pejabat pemerintah daerah yang terlibat dalam pengambilan keputusan proyek. Aliran dana ini diduga sebagai bentuk gratifikasi atau suap agar proyek tetap dijalankan tanpa memperhatikan aspek transparansi dan akuntabilitas.
Dalam sidang tersebut, Hendrick Raharjo yang mengenakan kemeja putih tampak tenang mendengarkan dakwaan yang dibacakan jaksa. Ia didampingi oleh tim penasihat hukumnya yang menyatakan akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan yang dibacakan oleh JPU.
Tim kuasa hukum Hendrick menyatakan bahwa klien mereka tidak melakukan tindak pidana korupsi, melainkan hanya menjalankan kontrak berdasarkan arahan dan persetujuan dari pihak Dinas Kominfo Taput. Mereka juga menegaskan bahwa semua proses administrasi telah dilakukan sesuai prosedur.
Majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Ketua Raden Budiarto memberikan kesempatan kepada tim penasihat hukum terdakwa untuk menyampaikan eksepsi pada sidang berikutnya yang dijadwalkan pekan depan. Hakim juga mengingatkan seluruh pihak untuk tetap menjaga etika selama proses persidangan berlangsung.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan penyedia jasa swasta dan pejabat pemerintah daerah dalam dugaan korupsi yang berdampak langsung terhadap pelayanan masyarakat. Program internet yang seharusnya menjadi solusi untuk memperluas akses informasi di daerah, justru menjadi sarana penyalahgunaan anggaran.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung sebelumnya juga telah memberikan perhatian terhadap proyek-proyek infrastruktur digital yang rawan diselewengkan. Kasus ini menjadi bukti bahwa pengawasan ketat terhadap pengadaan barang dan jasa masih sangat diperlukan, terutama di sektor teknologi informasi yang berkembang pesat.
Selain Hendrick, Ir. Polmudi Sagala dan Hanson Einstein Siregar juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Keduanya akan disidangkan secara terpisah dan dijadwalkan akan menjalani sidang perdana pada awal Agustus 2025.
Masyarakat Tapanuli Utara berharap agar proses hukum ini berjalan secara adil dan transparan. Banyak warga yang kecewa karena proyek internet yang dijanjikan tidak terealisasi maksimal, bahkan sebagian titik layanan internet mengalami gangguan sejak tahun 2021.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Taput pun mendesak agar pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek-proyek strategis yang melibatkan pihak ketiga, guna mencegah praktik korupsi yang merugikan rakyat.
Jika terbukti bersalah, Hendrick Raharjo terancam dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang masing-masing mengatur ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda miliaran rupiah. Proses hukum yang sedang berjalan ini menjadi babak penting dalam pemberantasan korupsi, khususnya di sektor digitalisasi pemerintahan.