
Duniamedan.com- Jakarta. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), Hasto Kristiyanto, secara resmi didakwa oleh Kejaksaan Agung dalam kasus suap yang melibatkan Harun Masiku. Dakwaan ini menambah daftar panjang kasus korupsi yang melibatkan elite politik di Indonesia. Hasto diduga terlibat dalam pemberian suap senilai Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022, untuk memuluskan proses pergantian antar waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kasus ini pertama kali mencuat pada awal tahun 2020, ketika Harun Masiku, calon legislator dari PDI Perjuangan, dilaporkan hilang setelah menjadi tersangka dalam kasus suap. Harun diduga memberikan uang kepada Wahyu Setiawan untuk memastikan dirinya dapat menggantikan posisi anggota DPR yang mengundurkan diri. Namun, kasus ini sempat mangkrak selama beberapa tahun sebelum akhirnya kembali mencuat dengan melibatkan nama Hasto Kristiyanto.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Jumat, 14 Maret 2025, jaksa penuntut umum menyampaikan dakwaan resmi terhadap Hasto Kristiyanto. Selain Hasto, tiga orang lainnya juga didakwa, yaitu Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku. Mereka dituduh secara bersama-sama memberikan suap kepada Wahyu Setiawan untuk memengaruhi keputusan KPU terkait proses PAW.
Menurut jaksa, uang suap senilai Rp 600 juta tersebut diberikan dalam beberapa tahap. Sebagian besar uang itu disalurkan melalui perantara, termasuk Donny Tri Istiqomah, yang diduga memiliki hubungan dekat dengan Wahyu Setiawan. Transaksi ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari deteksi dari pihak berwenang.
Kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai integritas proses PAW di DPR. PAW sendiri adalah mekanisme yang memungkinkan pergantian anggota DPR di tengah masa jabatan, biasanya karena alasan kesehatan, pengunduran diri, atau hal lainnya. Namun, proses ini sering kali diwarnai praktik suap dan kolusi, terutama ketika melibatkan partai politik besar seperti PDI Perjuangan.
Hasto Kristiyanto, yang dikenal sebagai salah satu tokoh kunci di PDI Perjuangan, membantah semua tuduhan yang ditujukan kepadanya. Dalam pernyataan resminya, Hasto menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat dalam praktik suap dan siap membuktikan kebenaran di pengadilan. Ia juga menegaskan bahwa kasus ini adalah upaya untuk menjatuhkan nama baiknya dan partainya.
Namun, bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa terlihat cukup kuat. Beberapa saksi kunci, termasuk mantan staf KPU, telah memberikan kesaksian yang merugikan Hasto dan kawan-kawan. Selain itu, ada bukti transaksi keuangan yang menunjukkan aliran dana dari pihak-pihak terduga ke rekening Wahyu Setiawan.
Kasus ini juga menimbulkan dampak politik yang signifikan bagi PDI Perjuangan. Sebagai partai yang mengusung narasi anti-korupsi dan reformasi, keterlibatan Sekjen partai dalam kasus suap tentu menjadi tamparan keras. Banyak pihak mempertanyakan komitmen partai tersebut dalam memberantas korupsi, terutama di tengah upaya pemerintah untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di sisi lain, kasus ini juga menjadi ujian bagi sistem peradilan Indonesia. Publik menunggu bagaimana pengadilan akan memutuskan kasus ini, terutama mengingat betapa kuatnya pengaruh politik yang dimiliki oleh para tersangka. Apakah pengadilan akan bersikap independen dan adil, ataukah keputusan akan dipengaruhi oleh kekuatan politik?
Selain itu, kasus ini juga menyoroti perlunya reformasi sistem PAW di DPR. Banyak pengamat menyarankan agar proses PAW dilakukan dengan lebih transparan dan akuntabel untuk mencegah praktik suap dan kolusi. Tanpa reformasi yang mendasar, kasus serupa diprediksi akan terus terjadi di masa depan.
Sementara itu, Harun Masiku, yang menjadi pusat kasus ini, masih belum ditemukan hingga saat ini. Pihak berwenang telah mengeluarkan surat pencarian orang (SPO) terhadap Harun, tetapi upaya penangkapan belum membuahkan hasil. Keberadaannya yang masih misterius menambah kompleksitas kasus ini.
Bagi masyarakat, kasus ini menjadi pengingat betapa korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia. Meskipun upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan selama bertahun-tahun, praktik suap dan kolusi masih merajalela, terutama di kalangan elite politik. Kasus Hasto Kristiyanto dan kawan-kawan menjadi bukti bahwa korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik.
Sidang kasus ini diprediksi akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, mengingat kompleksitas dan banyaknya pihak yang terlibat. Publik pun akan terus memantau perkembangan kasus ini, terutama karena melibatkan tokoh penting dari partai politik besar seperti PDI Perjuangan.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini juga menjadi tantangan bagi Presiden Joko Widodo, yang selama ini mengusung agenda pemberantasan korupsi. Sebagai ketua umum PDI Perjuangan, Jokowi diharapkan dapat memberikan respons tegas terhadap kasus ini. Namun, hingga saat ini, Jokowi belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus tersebut.
Kasus Hasto Kristiyanto dan kawan-kawan juga mengingatkan kita bahwa korupsi tidak mengenal batas partai politik. Baik partai pemerintah maupun oposisi, keduanya rentan terhadap praktik korupsi jika tidak ada pengawasan yang ketat. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara menyeluruh dan tanpa pandang bulu.
Sebagai penutup, kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Korupsi bukan hanya merugikan secara materiil, tetapi juga merusak sendi-sendi demokrasi dan kepercayaan publik. Hanya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, Indonesia dapat benar-benar bebas dari jerat korupsi.